Tuesday, 17 December 2013

PERWUJUDAN ALLAH MENURUT AL-QUR'AN & AGAMA LAIN

PERWUJUDAN ALLAH MENURUT AL-QUR’AN & AGAMA LAIN

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (QS.Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? . Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (QS.Al Qadr (97):1,2,3).

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besa
r. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.An Nuur (24):35)

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan: kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS.Yusuf (12):4).

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk: dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (QS.Al Khafi (18):17)

Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, (QS.As Shaaffaat (37):6)

Dan seperti yang telah disebutkan dibagian awal Article ini, bahwa cukup banyak penjelasan-penjelasan yang ada didalam Al-Qur’an yang penjelasannya menggunakan ayat-ayat mutasyaabihaat dengan perumpamaan-perumpamaan dan kias-kias, yang seperti terlihat pada potongan-potongan ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini :

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (QS.Al Qadr (97):3)

Seperti lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara (An Nuur (24):35)

Melihat sebelas bintang, matahari dan bulan: kulihat semuanya sujud kepadaku." (Yusuf (12):4).

Melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah (QS.Al Khafi (18):17)

Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang (As Shaaffaat (37):6), dll

Allah cahaya langit dan bumi, perumpamaan cahaya Allah laksana seperti sebuah lubang yang tak tembus, dan di dalamnya ada pelita besar, yang berada didalam beranda kaca, dan kacanya saja seakan-akan bintang seperti mutiara, cahaya diatas cahaya, Allah membimbing (memberi petunjuk) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.

Dan pada ayat-Nya yang lain dikatakan bahwa, malam kemuliaan itu terangnya lebih baik dari seribu bulan, Allah menghiasi langit terdekat dengan hiasan bintang-bintang. Dan bagi hamba-Nya yang mendapat petunjuk, maka akan dibimbing melihat matahari terbit condong dari gua mereka dari sebelah kanan dan akan terbenam ke sebelah kiri.

Beberapa penjelasan tentang Wujud Allah tersebut, sejalan juga dengan beberapa hadits Rasulullah SAW :

Apakah engkau melihat Tuhanmu..? Cahaya sesungguhnya aku melihat-Nya (HR Bukhari).

Ketika para ahlul Jannah berada dalam kenikmatan, tiba-tiba muncullah Cahaya yang terang benderang, maka merekapun mendongakkan kepala-kepala mereka. Ternyata Cahaya itu adalah Allah yang sedang melihat mereka dari atas mereka, Allah berfirman : “As Salamu’alaikum, wahai ahlul Jannah”. Beliau melanjutkan : “Itulah makna firman Allah : (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang (QS. Yasin (36):58). Allah melihat para ahlul Jannah dan merekapun melihat-Nya. Maka mereka tidak mau menoleh kepada kenikmatan yang lain, hingga Allah menghilang dari pandangan mereka, namun barokah dari Cahaya Allah itu terus meliputi mereka di Jannah (HR Ibnu Majah)

Saudaraku., bila kita cermati beberapa penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi didalam menjelaskan tentang perwujudan Allah yang dapat kita temui, dimana semuanya lebih merujuk kepada perwujudan Allah yang dapat kita temui tersebut yaitu berupa “Cahaya-(Nur)”. Yang tentunya jangan kita artikan dalam artian yang sempit.

Sesungguhnya Nur (Cahaya) yang bisa disaksikan oleh mata qolbu (mata hati/ruh-Nya) tersebut adalah Nuurullah (Cahaya Allah) itu sendiri (“Allah SWT”), dan sebutan untuk Nur (Cahaya) atau sebutan nama-nama Allah yang lainnya sesungguhnya hanyalah majaz (kiasan) dan hanya merupakan gambaran-Nya saja dan bukan Dia yang sesungguhnya.

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan Cahaya (Al-Qur’an) yang telah kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (At-Taghabun(64);8).
Hai sekalian manusia ! telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu dan telah kami turunkan kepadamu “CAHAYA” yang terang benderang (An-Nisa (4);174).


Dan selanjutnya, kita lihat pengertian mengenai Cahaya (Nur) menurut agama atau kepercayaan-kepercayaan lain :

Menurut Pustaka Sasangka Jati, bahwa Tuhan itu adalah Satu, akan tetapi bersifat tiga (TRI PURUSA) yaitu :
1. SUKMA KAWEKAS (Sukma: Hidup, Kawekas: Tertinggi), Sumber Hidup yang tertinggi. Sumber Hidup. Dan semua yang hidup berasal dari Sukma Kawekas, yang didalam agama Islam disebut Allah Ta’ala atau Nuurullah.
2. SUKMA SEJATI, ialah Utusan Tuhan Yang Sejati atau yang disebut utusan yang abadi, yang dalam agama Islam disebut : Rasul/utusan atau Nuur Muhammad.
3. ROH SUCI, (SINAR/CAHAYA) yaitu percikan dari Tuhan (percikan dari Sukma Kawekas) atau menurut agama Islam disebut : Rohani/ruh-Nya (Nuurul Insan)
Dan Roh Suci (Sinar/Cahaya) sesungguhnya adalah percikan dari Sukma Kawekas, maka sudah tentu Roh Suci (Sinar/Cahaya) tersebut tidak bisa dipisahkan dari Sukma Kawekas, karena Roh Suci (Sinar/Cahaya) tersebut sesungguhnya adalah bagian dari Sukma Kawekas itu sendiri.
Menurut agama Kristen didalam Kitab Injil :
Aku adalah Cahaya yang datang di dunia ini, supaya barang siapa yang kenal akan Daku, janganlah tinggal di dalam gelap. (Injil, Yahya 12:46)

Menurut agama Hindu didalam Kitab Baghawad Gita :
Beri santaplah yang bercahaya (Brahma Sang Pencipta), mudah-mudahan engkau akan dikaruniai, dari jalan inilah akan tercapai keselamatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu yang bercahaya diberi santapan kurban, akan mengkaruniai segala kenikmatan yang diharap.

Menurut agama Budha :
Bahwa sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa tersebut adalah Sanghyang Adi Budha, yaitu sumber dari segala sumber yang memancarkan sinar-Nya. Dan dari Diri-Nya (Sanghyang Adi Budha) jugalah tercipta 5 (lima) Dyani Budha :

1. Vairocana : Sumber Cahaya
2. Aksobya : Sumber ketenangan
3. Ratna Sambhawa : Permata Alam Semesta
4. Amitabha : Cahaya Tanpa Batas
5. Amoasidhi : Maha Jadi Yang Tidak Mengenal
Kegelapan

Dari kita melihat pengertian mengenai Tuhan dari berbagai Agama atau berbagai aliran kepercayaan yang ada didunia ini, dimana mayoritasnya menyatakan bahwa Tuhan itu adalah “Nuur” atau “Cahaya diatas Cahaya” atau “Maha Cahaya” atau “Sumber Cahaya” dan lain sebagainya.

Dan sebutan Cahaya (Nuur) tersebut, sesungguhnya hanyalah lebih kepada perumpamaan atau gambaran yang baru bisa dipahami oleh kita (manusia). Karena, sesungguhnya penyaksian Nuur (Mukhasyafah) tidak sama seperti penyaksian kita terhadap cahaya-cahaya ciptaan-Nya yang ada di jagad raya ini, seperti penyaksian/penglihatan kita terhadap cahaya matahari atau penglihatan kita terhadap cahaya bulan atau cahaya-cahaya yang lainnya, karena Allah berbeda dengan ciptaan-Nya ‘Laisa kamistlihi syai’un’.

Memang..!!!, dalam menafsirkan Wujud Allah yang berupa “Cahaya (Nur)” ini, saat ini masih cukup banyak juga yang kurang sependapat atau kurang sepaham. Karena, masih banyak pemahaman yang menyatakan bahwa Allah itu Gaib (Allah tidak bisa kita temui), dan wujud Allah belum pernah terbersit atau terbayangkan oleh kita (manusia).

Oleh karena itu, agar tidak terjadi perbedaan paham dalam menafsirkan wujud Cahaya (Nur) tersebut, dan seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh nabi-nabi Allah yang lainnya, seharusnya kita menyaksikan-Nya sendiri (Haqqul/Isbatul-yakin) Wujud Cahaya (Nur). Karena, jika pembuktian terhadap Wujud Cahaya (Nur) tersebut belum pernah kita lakukan maka pembicaraan atau penjelasan kita tentang Cahaya (Nur) tersebut tentu akan sulit untuk kita pahamkan atau kita mengerti. Dan mungkin yang ada, kita hanya akan memahamkan-Nya secara sepihak saja atau secara individu kita saja. Dan tentunya, jika kurang arif dan kurang bijaknya kita dalam menyikapi pemahaman tentang Wujud Allah yang berupa Cahaya (Nur) tersebut, maka ada kemungkinan kita akan terjebak perselisihan paham yang berujung pada keributan yang hanya ingin memenangkan pendapat sendiri. Atau mungkin, kita bisa terjebak sama seperti cerita orang-orang yang terdapat pada contoh cerita sinonim fiksi berikut didalam meributkan yang namanya air :

Singkat ceritanya kira-kira :
Beberapa orang yang meributkan nama “air”, padahal sesungguhnya mereka itu sudah pernah melihat wujud air.

Ceritanya :
Salah satu dari mereka ada yang berasal dari pulau jawa yaitu Jawa Barat sehingga menyebutkan yang namanya air dalam bahasa Sunda adalah “Cai”, dan yang satunya lagi yaitu berasal dari Jawa timur sehingga menyebutkan yang namanya air dalam bahasa Jawa adalah “Banyu” dan yang satunya lagi berasal dari kulon (Eropa), sehingga orang tersebut menyebutkan yang nama air tersebut adalah “Water” dan yang satunya lagi menyebutkan namanya ini, dan yang satunya lagi menyebutkan namanya itu dan lain sebagainya..

Dan mereka semua merasa dialah yang paling benar, sedangkan pendapat atau sebutan dari orang lain mereka anggap salah. Yang kemudian mereka ribut, bertengkar, dan waktu mereka habis percuma tanpa mendapatkan kata sepakat terhadap apa yang telah mereka peributkan itu.

Padahal…!!!, seperti yang kita ketahui, bahwa apa yang mereka ributkan itu adalah sama-sama bernama Air dan semuanya sebenarnya sudah sama-sama benar. Dan sudah selayaknya juga mereka bisa menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut dengan cara duduk bersama dan menyaksikan bersama-sama apa hakikat/bentuk yang sesungguhnya dari ‘air’ yang telah mereka peributkan itu.

Dan tentunya, dari contoh cerita tersebut, paling tidak ada sesuatu yang bisa kita ambil sebagai bahan pembelajaran agar kita bisa menjadi orang yang bisa lebih arif dan bijak dalam melihat segala sesuatunya, dan kita juga bisa menjadi orang yang tidak gampang terjebak pada keinginan atau pendapat yang hanya ingin menang sendiri (fanatik), dan mau melihat sisi kebenaran yang disampaikan oleh orang lain.

Dan sebagai langkah bijak tentunya, kalau memang benar kita ingin mencari suatu kebenaran, apa salahnya kalau kita mau mencoba atau berusaha ingin tahu, misalnya dengan cara ikut bersama-sama membuktikan atau melihat secara langsung hakikat yang sesungguhnya dari apa yang dicari. Sehingga kita bisa berkesimpulan yang lebih realistis, karena telah benar-benar membuktikannya sendiri dan tidak karena katanya sianu atau karena katanya siitu saja.

Dan kembali kita kepada pembuktian Cahaya (Nur) tadi, yang tentunya juga, bila kita sudah pernah membuktikan Cahaya (Nur) tersebut, tentu paling tidak bila kita ingin menyampaikannya kepada orang lain, kita juga tahu persis terhadap apa yang kita bicarakan/sampaikan itu, walaupun mungkin orang yang kita ajak bicara tersebut tidak paham atau belum tahu (belum mengerti) terhadap apa hakikat atau bentuk yang sesungguhnya dari apa yang kita bicarakan atau sampaikan tersebut. Demikian juga sebaliknya, jika kita belum pernah membuktikan Cahaya (Nur) tersebut, maka ada kecenderungan penyampaian kita atau ucapan kita kepada orang lain tersebut terdapat suatu kebohongan atau lebih merupakan sesuatu ucapan yang hanya dikira-kira saja (bohong belaka).

Yang tentunya dalam hal ini, sesungguhnya bukan saja orang lain yang telah kita bohongi, akan tetapi sebenarnya juga kita telah berbohong kepada diri kita sendiri. Dan yang sangat lebih celakanya lagi dengan hal atau perbuatan kita tersebut, yaitu berarti kita juga telah berbohong kepada Allah SWT “Na’uzubillahi min zalik”.

No comments:

Post a Comment